Senin, 07 Agustus 2017

Mau lanjut nulis setelah menikah. Sebentar lagi akan fokus. Semoga!

Senin, 19 Oktober 2015

NGGAHI RAWI PAHU 4


Hilir mudik kelelawar yang merebut buah jambu di halaman telah usai. Tak ada lagi suara seng yang berdentum ketika buah-buah jambu itu lepas dari cengkeraman mulut kelelawar, atau lepas dari dahannya. Dari arah barat bau laut tercium dan suaranya bagai nelangsa nyanyian burung yang kehilangan pasangannya, sementara suasana pagi  masih bungkam dalam balutan dingin yang menusuk-nusuk kulit.  Aku tersadar dari lelap dan kutangkap suara yang bersumber dari handphone-ku.  Ada seseorang menelepon dan di layarnya terpampang  nomor baru.
“Assalamualaikum, Bang.”
“Iya, Waalaikum salam. Maaf dengan siapa, ya?”
“Ini Zainab, Bang.”
“Zaenab mana, ya?”
“Itu, Bang, yang kemarin minta bantuan belikan bensin.”
“Oh, iya, Zainab. Dapat nomor handphone-ku dari siapa?”
“Kemarin  sempat cerita kalau saya meminta pertolongan sama abang, eh, ternyata orang yang saya ceritakan kenal sama Abang. Katanya abang sepupuan sama dia. Dunia ini tidak seluas yang kukira, Bang.”
“Siapa, ya?”
“Atin, Bang. Dia satu kelas juga denganku dan kami duduk di bangku yang sama.”
“Oh, iya, dia memang sepupuku.” Aku memang punya sepupu yang kuliah di perguruan tinggi tempat zainab kuliah. Atin adalah anak dari kakak perempuan Daengku. Anaknya yang ketiga.
“Maaf, ya, Zainab, aku harus shubuhan dulu.”
“Owh..., iya, Bang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kupakai lagi jubah dingin yang akan menyucikan tubuh fakir ini dari kotoran kehidupan. Udara dingin yang turun melewati pematang senja kemarin belum juga reda. Meresap menembus tulang-tulang. Kukirim dua kalimat sahadat setelahnya dengan tangan tengadah. Kudapati embun turun dari wajahku yang basah, sementara seluruh ragaku mengimaji dapat bersentuhan langsung dengan Rab-ku. Damai ketika wajah ini kuhadapkan pada kiblat. Di sujud-sujudku yang panjang. Kudapati air mata yang meleleh di sela-sela doaku. Lirih seperti puisi angin yang tak bersentuhan dengan apapun. Iya, damai yang sebenarnya hanya bisa didapatkan di tempat ini. Tidak harus dicari jauh-jauh. Di atas sajadah ini mengalir sungai-sungai yang tenang. Damai di bawah rerimbun pohon. Jika di atas sajadah ini begitu damainya, bagaimana nanti jika menggelar sajadah di jannah-Nya?
“Kemarin sudah ke rumah ayahnya?” kakekku bertanya. Kakek adalah saudara lelaki dari orang tua ibuku, alias saudara nenekku. Dia hidup menduda setelah dua tahun yang lalu ditinggal mati oleh sang istri. Tinggal sendirian, maka kupilih rumahnya untuk menginap jika sudah ada di desa di mana Mawar tinggal. Kadang dia sibuk mengurusi kucing kesangannya. Takut kalau kucing itu kelaparan. Ini kucing kesangan almarhumah, katanya. Dia kadang berkisah untuk mengisi waktu senggang jika duduk-duduk di beranda denganku.
“Dulu, waktu kakek seumuran kamu, ke sini jalan kaki berhari-hari melewati beberapa gunung.” Katanya memulai cerita. Aku tidak bisa bayangkan betapa lelahnya berhari-hari dalam perjalanan melewati belantara demi memenuhi kehendak hati, memenuhi titah perasaan. Aku yang menggunakan kendaraan saja bisa setengah hari untuk sampai ke tempat ini. Tanpa dijelaskan pun aku tahu persis bagaimana wujud perasaan orang yang sedang jatuh cinta dan rela bersimbah keringat untuk sekadar bertemu. Kehidupan manusia ini hanya sebuah perulangan. Aku yang jatuh cinta saat ini hanya mengulang kisah yang pernah ada dan dilakoni oleh orang-orang sebelumku dan kisahnya itu-itu saja. kita belajar ketegaran dari orang-orang yang pernah mengalami kehilangan. Dan, tak pernah ada kebersamaan yang abadi. Tidak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini, pun tak ada kecewa yang menggelar keangkuhannya di atas kehidupan manusia selamanya. Bagi mereka yang pernah kecewa, ia mulai belajar ketegaran. Belajar membangun kepercayaan dan keyakinan. Bagi mereka yang sedang dilanda bahagia harus menyiapkan diri untuk berbagai kekecewaan.
“Iya, sudah, kek.”
“Bagaimana tanggapan keluarganya?”
“Sejauh ini baik-baik saja, kek. Entahlah besok lusa.”

Bersambung

Sabtu, 17 Oktober 2015

NGGAHI RAWI PAHU 3


Di tanah “Nggahi Rawi Pahu” ini, aku mulai belajar menyesuaikan diri. Mengenali alamnya. Di ujung selatan Kab. Dompu ini, di sebuah desa kecil, Mawar tinggal dalam sebuah bangunan yang disediakan pemerintah untuk melayani pasien yang melahirkan. Tugas yang sangat mulia, menyelamatkan dua nyawa dalam waktu yang bersamaan. Di kamar sebelah, tinggal juga seorang bidan yang memiliki tugas yang sama. Tapi, mereka lebih suka tidur dalam satu kamar dan mereka sangat akrab.
“Dea, ini Kak Ray dan Kak Ray, ini Bidan Dea. Dia juga tinggal di sini dan teman sekamarku.”
“Senang berteman denganmu, Dea.”
“Senang juga berteman denganmu, Kak.”
“Kak, Dea ini masih sepupuan dengan pipit, lho.”
“Oh, iya, pantas mirip dan tadinya kupikir kembarannya.” Kedua wanita itu tertawa.
“Pandai melucu juga rupanya,” berkata Dea sambil cekikikan.
“Tentu saja bisa.”
“Yuk, ke rumah, Kak! Dea, kami ke rumah dulu, ya. Kak Ray ingin bertemu  Ayahku,” ajak Mawar dan memberitahukannya pada Dea. Jarak antara Polindes dan rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit. Rumah itu hanya didiami kakak perempuannya yang baru saja menikah dan seorang saudara laki-laki yang masih berumur kurang dari dua puluh tahun. Barangkali masih 18 tahun.
“Saya adiknya.” Anak lelaki yang baru tamat sekolah menengah atas itu langsung memperkenalkan dirinya dan menyapaku dengan ramah. Tapi, ada sesuatu yang tidak membuatku nyaman di rumah itu. Kakak dan kakak iparnya yang sempat kudengar namanya saat Mawar memanggil keduanya menunjukan sikap acuh tak acuh. Kakaknya bernama, Rista dan iparny bernama Rahim.
“Ayah kemana, kok tidak kelihatan?”  Tanyaku.
“Ayah tidak tinggal di sini. Ayah tinggal dengan istri barunya di desa sebelah. Duduk saja dulu, nanti kita ke sana.”
Tidak ada tumbal lain dari sebuah perpisahan kecuali ketelantaran, walaupun perpisahan itu harus karena maut-Nya. Hidup harus dilanjutkan kendati orang tua yang tidak lengkap dan tengah dilengkapi dengan ibu yang bukan melahirkan kita. Hidup harus terus tegak kendati kendalanya memaksa  menarik kita untuk jatuh dan terjerembab dalam kesedihan. Hidup tidak harus berakhir dengan alasan kehilangan, apapun itu, termasuk di dalamnya kehilangan orang tua yang sangat disayangi. Kehilangan satu tongkat lantas tidak membuat kita kehilangan pegangan. Ibarat burung di tengah rimba. Satu dahan yang patah tidak berarti kehilangan semua dahan untuk bertengger. Masih banyak tangan yang akan menuntun pada arah yang lebih baik. Masih banyak bahu yang bersedia menopang kepala kala membutuhkan. Masih ada saudara dan keluarga yang peduli. Jika sekalipun hidup sendiri, akan ada lengan yang disediakan Tuhan di atas sajadah yang bersedia membelai dan memeluk dengan damai. Yang bersedia mengusap air mata dengan malamnya yang indah. Hidup harus berlanjut sebab Tuhan masih titahkan nyawa di sebalik raga dan jelas ada rencana terbaik yang akan dihadirkannya kelak. Tak ada satu pun yang luput dari kuasa-Nya. Masih ada nikmat yang jika dibandingkan dengan satu kehilangan, maka masih ada mata yang jadi perantara untuk melihat keindahan lain yang tersedia. Beribu-ribu jumlahnya. Satu keindahan yang hilang tidak semestinya menjadi alasan kehilangan banyak keindahan. Masih ada hidung yang bersedia menghirup aroma alam yang bercampur dengan udara. Aroma bunga di pagi hari yang dilewatkan sebelumnya. Hidup harus berlanjut walau harus berdiri di atas kaki sendiri hingga nyawa terlepas dari raga dengan damai dan tanpa beban serta dosa. Tak ada alasan untuk menghianati hidup dan membencinya. Apalagi mengakhirinya dengan tidak wajar atas kekalahan kita terhadap kehidupan, sementara kalau kita bersabar sedikit saja kita mampu mengatasinya. Hidup memang tidak dimaksudkan untuk mudah dan lebih banyak yang dipikul daripada dinikmati.
“Assalamu-Alaikum-Warahmatullahi-Wabarakatuh,” Mawar memberi salam ketika sudah turun dari motor dan memasuki halaman rumah Ayahnya.
“Waalaikum-Salaaam,” terdengar suara cempreng dari dalam rumah. Lewat suara itu aku dapat menerka umur berapa pemiliknya. Tepat sekali ketika pemiliknya membukakan pintu dan kulihat beliau berumur lebih kurang enam puluhan. Segera aku mencium tangan ayahnya dan disusul Mawar. Pria dengan tinggi badan kurang dari seratus tujuh puluh sentimeter dan hitam manis itu cukup ramah.
“Sudah lama di sini,  Nak?”
“Baru saja, Ayah. Ini kali keduanya saya datang ke sini. Pertama, Waktu itu saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Sekolahku mengadakan piknik sekolah berhubungan dengan penerimaan raport. Sudah lama sekali.”
“Kapan pulangnya?”
“Insya Allah besok sore, Ayah.” Lelaki yang bernama lengakap Muhtar Loba itu cukup akrab dan menyenangkan, baik dan murah senyum.
“Besok pagi saya harus keliliing dulu, Ayah, ” sambungku.
Hamparan gunung-gunung dengan pohon yang jarang-jarang. Dari arah selatan terdengar dentuman ujung gelombang yang menabrak karang menggoda telinga. Tentu saja pengunjung dari manca negara ada di sana. Pantai yang menjadi kebanggaan Kabupaten Dompu dan menjadi salah satu penyumbang pundi-pundi kas daerah. Pantai yang dikenal dengan nama “Lakey beach” itu terletak tidak jauh dari desa di mana Mawar tinggal, yaitu di desa Marada, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu. Pernah aku mendengar pidato Bupati yang mengadakan perjalanan dinas ke sana, bahwa Kecamatan itu adalah Kecamatan terkaya dengan penyumbang pundi kas daerah dari hasil pariwsata dan tambang. Di kecamatan itu ada tambang emas yang lagi-lagi dikelola oleh pihak asing. Setiap saat holikopter hilir mudik dengan membawa bijih emas yang akan diproses menjadi emas murni dan segera diangkut ke negara asing. Penduduk lokal hanya menikmati polusi yang keluar dari cerobong pembuangannya dan alamnya yang mulai rusak.  Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan berkah dari berdirinya tambang itu. Orang-orang yang dipekerjakan saja yang mendapatkan upah seadanya di sana.
Hari telah sore lagi, sementara gugusan angin yang tak kasat mata itu menggerakkan semak-semak dan menciptakan gelombang di darat. Persis seperti gelombang yang ada di hamparan laut di bagian selatannya. Di bahu karang yang gagah berdiri dan serupa manusia, duduk sepasang kekasih. Memandang lekat ke tengah laut dan sesekali saling memandang. 
“Tuhan telah menjawab doaku.”
“Doa apa maksudmu?”
“ Kenapa tidak dari dulu, ya, kak, aku bertemu lelaki sepertimu? Caramu memperlakukanku persis seperti doa-doa yang pernah kulantunkan. Doa-doaku itu wujudnya adalah, Kak Ray.”
“Sebelum tiba di sini, aku tersesat dengan banyak hati. Tentu kau juga mengalami hal itu. Disakiti, menyakiti, dan itu melelahkan sekali. Benar, bahwa kita semua akan didewasakan oleh nasehat yang diberikan langsung oleh pengalaman kita sendiri. Disakiti mengajarkan kita untuk kuat dan belajar ikhlas, sementara menyakiti membuat kita memahami lebih perasaan orang lain, dan meminta maaf setelahnya menyadarkan kita untuk bisa memaafkan. Ada banyak hati yang ingin bertaut dengan hati ini, tentu di hatimu ada banyak pula yang ingin bernaung, tapi sebongkah daging itu selalu bisa menyeleksi , lalu memilih yang menurut ukurannya baik.”
“Apa aku baik untuk ukuran hatimu, Kak?”
“Hatiku telah memilihmu.” Tatapan itu lagi. Tatapan yang selalu berakhir di ujung hidungku. Teduh dan lekatnya tak lekas pergi. Menuding urat-urat kecil yang menjalar di hatiku untuk merasakan lagi keindahan yang ditimbulkannya. Sekali lagi menyadarkanku betapa tak ada keindahan lain yang serasa keindahan cinta. Dan, darinya pun tak ada kekecewaan yang sebanding dengan yang diakibatkannya.
“Jangan memandangku seperti itu. Nanti aku bisa lupa apa nama tempat ini.” Aku segera berdiri dan bertanya.
“Hei..., Nona! Apa nama tempat ini dan siapa namamu?” Tak ayal tingkahku membuatnya tertawa dan mengejarku kaya di film-film itu. Kubiarkan saja, Mawar menjamah tubuhku dengan pukulan-pukulan manjanya. Kunaiki motor yang terparkir tidak jauh dari tempatku dan menghidupkannya.
“Ayo, naik, Nona. Kita akan keliling London.” Mendapati kegilaanku,  Mawar menaiki motor dan aku mulai mengitari satu pohon di tempat yang sama dengan kecepatan sedang. Puluhan kali putaran dan kuhentikan setelah mendapati  Mawar muntah-muntah.
“Kau suka mabuk dalam perjalanan rupanya. Padahal kita baru sebentar mengelilingi kota London. Kita belum mengelilingi Shakespeare’s Globe Theatre, tempat yang spektakuler  di Soutwark, tepi Selatan Sungai Thames yang merupakan sebuah taman bermain anak terbuka dimana penulis drama, Shakespeare, banyak menulis drama terbesarnya. Kau tahu? Di sungai thames itu pulalah salah satu cara terbaik untuk melihat kota London. Kita belum melihat-lihat Istana Kensington di London ini  yang dibentuk oleh generasi perempuan kerajaan dari Queen Mary ke Victoria dan baru-baru ini Diana, Princess of Wales. Iya, oleh perempuan-perempuan yang memahami bahwa gagah itu tidak hanya disandang lelaki. Istana ini memiliki beberapa taman dengan gaya elegan seperti Sunken Garden, sebuah oasis yang tenang dan nyaman dan merupakan tempat yang tepat untuk bertamasya di hari sibuk. Iya, oleh perempuan hebat sepertimu juga yang berhasil membuat istana yang bernama bahagia di hatiku.”
“Kau lari keliling pohon, Kak, bukan kota London,” teriaknya.
“oh, tidak, kita belum mengelilingi Big Ben yang menjadi ikon kota london itu, Mawar. Kau akan menyesal jika perjalanan ini kita hentikan akibat ulah perutmu itu.” Terangku yang kubuat seolah-olah di tengah kota london. Dan, tawa itu meledak-ledak seperti letupan senjata.
“Tu, lihat! Matahari hampir tenggelam. Pulang..., Kak,” sambungnya lagi, sementara aku geli melihatnya memuntahkan isi perutnya.
Sepasang camar melesat di udara menikmati ujung-ujung hari, dan mengantar terang sebelum lindap oleh malam. Tawa yang disusun dua pelakon asmara itu menjadi sebuah bangunan yang terhampar di udara, tempat harapan dan cita-citanya tinggal. Hendak diraihnya mimpi yang telah menjadi sepasang itu setelah lelah sendiri. Telah naik menjadi embun di tengah kerontang dedaunan. Telah menjadi tunas tempat bebunga bermekaran. Dan, memang benar bahwa cinta selalu menemukan cara untuk bahagia.

Kamis, 15 Oktober 2015

NGGAHI RAWI PAHU 2


Buk..., Wanita bermata sipit dan berwajah korea itu menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Meraung-raung menahan sesak yang menghimpit jiwanya. Ditatapnya langit-langit kamar dengan airmata menebal menutupi pupil matanya. Nyaris warna hitamnya lenyap tenggelam dengan air payau yang mendanau di dalamnya. Tatapannya buram tidak jelas. Sesekali sesenggukannya terdengar dan memantul di dinding. Hendak dukanya menembus dinding dan terbang bebas di udara, namun tembok itu terlalu kuat untuk dihempas. Disambut makian atas dirinya dan takdir yang menimpa lantaran cinta yang dikandung badannya mengalahkan keteguhan hatinya. Kening yang biasa basah oleh sujud telah dinodai oleh runtuhnya keteguhan yang disusunnya selama ini sebelum cinta tak bersarang di hatinya. Airmata yang biasa mengucur pada saat “Sholatun Lail” untuk menunjukan kecintaan seorang hamba pada Rab-nya pun telah ternoda. Nestapa yang ditanggungnya tak bisa dihempas karena kecintaannya pada seorang hamba yang sama sekali tak mencintainya walau harus berkali-kali orang itu mencoba mencintainya. Ray, disebutnya nama itu berkali-kali, dan ia hapus airmatanya lantaran nama yang disebutnya telah menelan dukanya sesaat. Ada damai yang ia temukan di sana. Ray, nama itu telah dirapalnya dalam doa-doa. Memeluknya dalam lengan cinta. Menguatkan tulang-belulangnya untuk bangun tengah malam dalam balutan dingin. Nama yang disebut-sebutnya dalam sujud-sujudnya yang panjang. Tubuhnya yang jangkung semampai meringkuk membentuk bulatan dengan lutut hampir saja bertemu dengan dagunya seperti orang kedinginan. Dalam bingkai bulu mata lentiknya masih saja air bening itu mengucur. Deras serupa banjir selepas hujan usai. Menggenang di cekungan kelopak matanya dan perlahan bermuara di sudut bantal, basah. Jarum pendek jam yang bertengger di sebelah timur kamar kos-kosannya telah melewati angka dua belas. Perlahan-lahan makin ke selatan. Diingat-ingatnya kembali saat lelaki bernama Ray, yang menolongnya beberapa bulan yang lalu. Diingat-ingatnya senyuman lelaki yang membuatnya insomnia dan terjaga sepnjang malam itu.
“Maaf, Bang! Bisa bantu saya untuk membelikan bensin di pom bensin terdekat? Motor saya kehabisan bensin padahal saya harus kuliah. Sudah telat beberapa menit ini, Bang.” Wanita itu memicingkan matanya dan terlalu sering melihat jam tangannya. Lelaki yang bernama, Ray itu tancap gas demi membantu wanita yang menyuguhkannya pahala padanya itu. Bukankah merengkuh pahala dan kecintaan-Nya harus lewat hamba-Nya? Tanpa berkata-kata, dan dengan wajah yang sangat datar.
“Maaf, Dek. Namanya siapa?” Bertanya Ray setelah disodorkannya botol yang berisi bensin sekembalinya dari tempat pengisian bensin.
“Zainab, Bang!”
“Jurusan apa?”
“Sosiologi, Bang.”
“Ya, sudah Zainab, kamu penuhi dulu kewajibanmu di kampus itu. Aku mau pulang.”
“Iya, terimakasih, Bang, tapi namanya siapa?”
“Ray Romansyah. Panggil saja , Ray.”
“Iya, hati-hati di jalan, Bang!”
Tiba-tiba saja senyumnya mengembang. Rupanya dia sedang mengenang hari di mana dia terpaksa meminta tolong pada orang asing, karena takut terlambat kuliah empat bulan yang lalu. Walaupun airmatanya enggan berhenti karena keteledoran perasaannya, tetap saja senyum itu mengembang lama sampai ia pulas dalam tidurnya. Ray, sesekali nama itu masih disebutnya tanpa sadar.
***
Perlahan-lahan bulu matanya yang lentik bergerak. Menandai tabir tipis yang menutupi bola matanya akan tersibak. Didapatinya airmata masih menggantung di kelopaknya yang lebam. Diusapnya berkali-kali.  Rupanya aku ketiduran, katanya, berbicara dengan dirinya sendiri. Sampai sepagi ini bayang lelaki yang menjamah hatinya terbit di kepalanya bersamaan dengan matanya yang terbuka. Hadir sebagaimana fajar mengganti kegelapan dan dengannya bumi terang benderang. Namun kehadiran lelaki itu bukan sebagaimana matahari mengganti bumi jadi terang, tapi menjadikan hidupnya dilanda tanya dan redup. Kenapa harus terjadi, di sisi lain ia sadar ini bagian dari skenario yang maha mencipta. Dari lantai dua kos-kosannya, dia menatap jauh ke utara. Dipalingkannya dari timur tempat bola saga mulai merangkak naik. Takut kalau keteguhannya makin runtuh karena pernah saat seperti itu, sehabis lari pagi dia bertemu pemuda yang bernama, Ray itu. Ray, lelaki tinggi semampai yang biasa menghabiskan waktu liburnya hanya di kota Bima, dan tinggal di kos-kosan depan lapangan manggemaci. Ray, setiap lari pagi lebih memilih arah yang ke timur. Melawan matahari yang mulai naik, sedangkan Zainab yang tinggal di Mande memilih arah utara dan membelok ke barat. Tentunya mereka akan saling berpapasan di arah berlawanan. Kenangan-demi kenangan dikenangnya kembali. Yang indah-indah tentunya. Ia sama sekali tak ingin mengenang pengakuan Ray,  yang hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Walau demikian keras ia mencoba, tapi sepenuhnya penolakan itu tak lekas raib di kepalanya.
“Kau salah paham tentang hubungan kita, Zainab. Kita hanya bersahabat, lain tidak.”
Kata-kata itulah yang telah berhasil membuatnya sedemikian sakit. Pertama kali dirasakannya, karena Ray adalah orang pertama yang dicintainya.
Bersambung.

Selasa, 13 Oktober 2015

NGGAHI RAWI PAHU 1


 “Bagaimana tidurmu semalam, Mawar?”
“Tidak terlalu nyenyak, kak, padahal semalam kita menonton pentas musik Rawa Mbojo sampai jam 12 malam.”
“Kenapa begitu?”
“Ya, tidak tahu kenapa, Kak. Mungkin baru pertama kali tidur di rumah orang.”
“Kau memikirkan sesuatu, atau adik perempuanku yang menemani tidurmu mengganggu?” Tak ada jawaban. Dia hanya menatapku sesaat dan berpaling, lalu fokus dengan pekerjaannya merapikan kamarku yang sangat berantakan. Tumpukan  buku-buku yang menggunung dan berdebu, meja komputer yang tidak terurus, kertas-kertas berserakan dari sudut ke sudut.
“Mawar, engkau rapikan saja, ya, buku-buku dan apa yang ada di kamar ini. Jangan kamu pindah tempatnya, sebab nanti aku akan sangat kesulitan menemukan barang-barangku. Kau tahu? Tumpukan buku itu telah kuhafal semua. Dari yang paling bawah sampai yang teratas, aku hafal judulnya apa, warnanya bagaimana, isi dan pengarangnya siapa.” Aku memang paling tidak suka barang-barangku dipindah tempatnya. Di rumah, semuanya sudah kuperingatkan bahwa jangan sampai memindahkan barang-barangku apalagi buku. Aku bisa marah, sebab menemukan kembali barang yang sudah dipindahkan, bagiku seperti nelayan menemukan kembali sebutir keringatnya  yang terjatuh di lautan. Aku paling tidak bisa.
“Iya, Kak. Tapi, dirapikan tidak apa-apa, kan?”
“Bukankah sudah kukatakan, Mawar. Silakan dirapikan dan jangan dipindahkan mereka.” Kutunjuk tumpukan buku-buku yang ada di samping kanan meja komputerku.
 
“Dan satu lagi. Jangan kaupindahkan hati dan pikiranmu dari mencintai dan mengingatku.” Aku menatapnya dan kulihat matanya memandangku. Serasa ada aliran tak kasat mata yang menjalar dari dua pasang mata itu. Takjub.
“Selalu, Kak.”
“Ya, sudah kalau begitu. Aku mengajar dulu, nanti sore kau kuantar pulang.”
 
 Mengajar adalah rutinitas yang tak luput dari keseharianku. Pekerjaan yang bergelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu sebenarnya bukan cita-cita kecilku. Cita-cita kecilku adalah menjadi seorang tentara, atau setidaknya menjadi seorang dokter. Tapi kenyataanya, pekerjaanku sekarang jauh dari dunia militer dan kesehatan. Aku yakin sebagian besar manusia di bumi ini bekerja tidak menurut apa yang dia cita-citakan. Kenapa? Karena hidup tidak terlepas dari keberadaan dan campur tangan Tuhan. Bagiku, Tuhanlah yang menuntunku hingga sampai pada pekerjaan ini. Harus kusyukuri. Imajinasi kecilku selalu melulu senjata militer dan membela negara, selebihnya tentang alat medis, tapi hari ini aku sadar, bahwa membela negara tidak semata-mata dengan senjata dan kekuatan militer. Pena, ya, aku bisa menggunakan pena sebagai senjataku yang lebih hebat dari senjata militer atau alat medis sebagai media menolong. Melihat kenyataan hari ini, hiruk-pikuk dunia militer yang tidak lagi menggunakan kekuatannya untuk melindungi, tapi untuk menindas, memorak-porandakan negara lain untuk mendapatkan pengakuan power-nya. Dunia medis juga banyak mengambil andil dalam dunia kriminal, di mana oknum-oknum tertentu menggunakan keahliannya membantu upaya kejahatan medis, atau hal-hal lain yang hampir serupa. Ini bukan sebuah protes yang menjatuhkan martabat instansi tertentu, tapi lebih kepada saling memperingatkan satu sama lain, bahwa sebaiknya kejahatan harus ditinggalkan, sebab hari ini juga, kita menemukan banyak ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan. Dunia di mana para Guru-guru bercokol. Tingkat kepedulian yang semakin menurun baik oleh Guru sebagai salah satu warga pendidikan maupun orang tua dan pemerintah. Tingkat kesadaran orang tua bahwa begitu pentingnya pendidikan sangat jauh dari harapan. “Sakola daraka kai” (apa yang didapat dengan sekolah), atau “indoja di bora kai sakola” (sekolah tidak menjanjikan jabatan), begitu kata mereka. Akibatnya, banyak anak-anak yang sebenarnya memiliki bakat untuk sukses harus berakhir menjadi manusia tanpa masa depan yang jelas. Tingkat pengangguran yang menanjak. Puncaknya, kemajuan dan sumber daya manusia yang tidak siap menghambat pertumbuhan. Dana-dana kucuran pemerintah dipangkas oleh  pimpinan dan oknum-oknum tertentu. Aku orang pendidkan dan tahu jelas ketimpangan yang ada di dalamnya. Era korupsi massal. Terlepas dari itu, hidup ini ada pada dua unsur besar, pujian dan kritikan. Aku sampai terheran-heran atas keahlian manusia secara alami menemukan dua kata itu. Sekarang barulah aku menyadari bahwa pena lebih tajam dari senjata apapun. Dua kata itu ditemukan oleh bahasa dan diabadikan oleh pena. Pujian, walaupun oleh sebagian orang menganggapnya sebagai ujian dan pemutus kreatiftas, tapi hidup juga memerlukannya sebagai obat penawar semenjak kata protes itu ada. Bukankah orang yang paling sukses dalam hidupnya adalah orang yang pandai memuji dan sekaligus memiliki keahlian memprotes? Jika demikian, kenapa kita marah diprotes sedangkan tujuannya untuk memperbaiki, selebihnya yang didapat adalah pujian lantaran telah diperbaikinya yang salah. Praduga tidak serta merta jauh dari realita walaupun dalam dunia medis dilarang karena dunia medis butuh keakuratan agar bisa memberikan penanganan yang tepat. Alangkah datarnya hidup ini jika semua manusia enggan memuji. Alangkah semrawutnya hidup ini jika tak seorang pun yang peduli untuk memperbaiki. Aku sering diprotes baik oleh pimpinan atau pengawas, tapi setelahnya tak ada hal lain yang kutemukan kecuali kebaikan. Hidup ini banyak warna, tapi hidup selalu terikat pada hitam dan putih tanpa kita menelusuri baik-baik bahwa dalam hitam dan putih itu ada banyak warna lain. Dan, kadang hidup mempermainkan kita, tapi sejatinya yang mempermainkan kita adalah rencana padahal sebenarnya hidup itu mengalir apa adanya. Rencana besarku ada pada dunia militer atau paling tidak di dunia kesehatan, tapi hidup menolakku bekerjasama untuk berada di dunia itu. Akhirnya hidup telah menemukan jalannya sendiri hingga aku bisa menjadi penulis dan seorang Guru. Dunia yang sangat kucintai.
Perjalanan hidup selalu bermula pada pagi hari setelah sadar dalam dekapan malam, dan menjejaki jalanan untuk mengais rezeki. Setiap hari selalu saja begitu walau orang-orang tertentu tidak melakukannya. Setiap jalan yang ditempuh selalu ada kisah baru. Ada jejak yang direkam kepala setiap detiknya. Entah sebuah permulaan itu tangis atau tawa tetap berakhir pada satu titik: misteri. Tetap berakhir di sana. Ada yang diciptakan lemah, dan ada yang kuat. Ada yang terlihat jujur akan kelemahannya, ada yang selalu tertawa hanya untuk meyakinkan diri dia kuat, tapi sebenarnya ia menangis. Aneh betul hidup ini, tapi satu hal yang pasti bahwa hidup punya tujuan. Apapun itu, satu hal yang memiliki daya super kuat untuk membuat manusia terus bergerak. Seorang ayah akan bekerja keras demi cintanya kepada anak dan istrinya. Ia akan rela sendirian menghadapi lumpur kehidupan di pagi-pagi buta dan pulang menjelang senja. Seorang ibu rela meluangkan sebagian besar hidupnya untuk anak dan suaminya. Melayani keperluan orang asing yang tiba-tiba saja hadir dalam kehidupannya. Ia mampu bangun tengah malam mendengar bayinya menangis. Padahal ketika masih gadis masih berselimut tebal meski matahari sudah beranjak dari peraduan. Seorang kekasih yang tulus rela melakukan apa saja demi kebahagiaan kekasihnya sepanjang itu baik, sekalipun dia rela mengesampingkan kebahagiaannya sendiri. Aneh betul sesuatu yang kita sebut cinta itu. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar dari kebahagiaan cinta, pun tak ada kekecewaan yang lebih besar dari yang ditimbulkannya. Orang akan jauh lebih sehat bila ia bahagia dan tak ada penyakit yang lebih besar dari yang diakibatkannya. Pada getarnya yang misterius, ia hanya dapat dirasa oleh yang mengalami. Pohon yang meranggas dapat berwujud hijau dengan bunga rupa warna. Melayang seperti tidak memijak. Misterius. Aku pikir, barangkali munculnya Sinar X yang ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen ini bermula dari misteriusnya cinta. Sinar Misterius itu sendiri merupakan lambang Matematika yang digunakan untuk menyebut suatu bilangan yang belum diketahui. Ya, dia misterius, tapi pada akhirnya terungkap satu-satunya oleh yang mengalami, sebab manusia diciptakan berbeda tentu memandang hidup dari sudut-sudut yang berbeda. Jika saja manusia memandang hidup dari sudut yang sama, maka cinta tidak layak disebut misterius, dan satu kesimpulan berlaku untuk semua. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, entah kejayaannya atau keruntuhannya berkaitan erat dengan satu hal itu. Cinta Tanah Air rupanya telah menjadi bukti kemerdekaan negara ini. Cinta yang telah membangun jiwa raga untuk bergerak dan bertindak untuk bebas, maka tidak salah, cinta selalu bisa menemukan jalannya sendiri agar ia berakhir bahagia.
Untuk pertama kalinya, aku menyusuri sebuah jalan yang didominasi tikungan. Bukan pertama kali menjejakinya, tapi pertama kali menjejakinya atas nama cinta. Setelah, Mawar pamit dua jam yang lalu pada orang tuaku, aku mengantarnya pulang. Sesaat kami mampir di rumah pamannya yang kemarin jadi tempat pertemuan kami, di sila. Setelah bercakap-cakap dengan paman, kami pamit.  Hari ini begitu cerah. Matahari menggodam kepala. Menggedor-gedor tembok rumah, sedang di dalamnya orang-orang bersimbah keringat. Nun di sana, di hamparan sawah-sawah petani, fatamorgana bertengger di ujung daun pepadian. Aspal meleleh. Februari, di Bima masih musim hujan, dan kalau musim hujan memang matahari lebih menyengat dari matahari musim kemarau. Di “dana Mbari” ini kalau musim kemarau tiba akan ditandai dengan dingin seolah turun salju di malam hari. Tidak heran di wilayah-wilayah tertentu orang lebih suka di dalam rumah, dan kalau ada di luar mereka akan mengenakan sarung, Tembe nggoli, yaitu sarung tenun asli orang Bima yang dituntunnya untuk membungkus badan bahkan dari kepala sampai kaki sekaligus. Unik.
“Lemparkan biskuitnya, Kak!”
“Ya..., yang dapat biskuitnya adalah yang paling besar. Lemparkan di dekat anaknya yang kecil itu, Kak. Jangan dekat yang besar.”
“Itu si kerdil dapat jatah.”
“Hahaha..., dapat juga dia.”
Kerumunan monyet-monyet jinak di pinggir jalan Gunung Mada Pangga ini memberikan keindahan lain lewat solidaritas manusia dengan binatang. Mereka hidup berkelompok. Seperti manusia mereka memiliki pemimpin yang akan menjaga wilayahnya dari kelompok lain. Duduk memagari jalan dengan memperhatikan kendaraan dan menunggu makanan-makanan yang dilempar orang dari atas mobil dan motor. Berebutan. Betina dengan bayi di pangkuannya cekatan meraih makanan yang dilempar orang ke tanah. Sebagian dimakannya dan sebagian lagi buat bayi dipangkuannya. Perilaku mereka hebat, maka manusia yang tidak beragama bisa saja terpengaruh dan membenarkan darwinisme, bahwa cikal-bakal manusia berasal dari mereka yang berevolusi. Pohon-pohon berumur ratusan tahun dengan diameter yang tak mampu dipeluk sepuluh tangan lelaki dewasa, berjejer merupa pagar hidup seolah turut menjaga keindahannya dari tangan-tangan jahil manusia, atau menjadi penanda wilayah kekuasan fauna yang ada di dalamnya. Di bawah akarnya memercik mata air yang mengalir kecil-kecil dan merampungkan diri di sebuah “Diwu” dan dialirkan ke sebuah kolam yang dipakai pengunjung untuk mandi. Bau hutan sungguh nikmat di hidung. Burung-burung ratusan jenisnya. Udara segar tak tercemar.Tempatnya dipagar keliling. Selain menjadi tempat wisata dan pemandian, mata air Madapangga menjadi sumber air yang diolah menjadi air minum dalam kemasan. Sungguh kaya negeri ini. Gunung-gunungnya menyediakan keperluan yang tak pernah habis. Hamparan sawah yang luas. Aku cukup heran kenapa hamparan sawah yang luas ini sebagiannya hanya bisa ditumbuhi ilalang. Betapa kesadaran masyarakat Bima akan pertanian sebagai pendongkrak laju pertumbuhan ekonomi keluarga dan Negara jauh dari harapan. Melihat kenyataan bahwa mayoritas warga Indonesia adalah petani, maka satu-satunya cara sederhana untuk meningkatkan taraf kehidupannya adalah meningkatkan sektor pertanian. Kesadaran Nasional akan sektor pertanian ini perlu didongkrak melalui upaya-upaya yang membuahkan hasil. Sebagai anak seorang petani, aku cukup tahu bagaimana besar ketergantungan warga Bima ini terhadap hasil pertaniannya. Mata dan pikiranku susah diajak untuk diam. Selalu saja di sana bertengger berbagai hal kendati hangat nafas seorang wanita yang duduk di belakangku membelai daun telingaku. Aku senang bercakap-cakap dengan pohon dan bertanya hal yang muskil dijawab, sementara ban motorku terus berputar membawa tuannya ke tempat tujuan. Beberapa saat kami hanya diam. Hanya suara angin, dan sekali lagi hangat nafas wanita di belakang menghangatkanku dari dari dinginnya jalanan yang diapit belantara, sedang di langit, mendung mulai menutupi gagah sinar mentari. Setelah melewati sebuah tikungan dan jembatan, Mawar mengajakku beristirahat. Berdiri sebuah kedai kopi di sudut tebing sungai dengan air jernih mengalir di bawahnya, putih seperti hamparan permadani. Malam menyuguhkan bintang-bintang, tapi siang telah menyiapkan keindahannya sendiri. Coleteh burung, suara air. Jika sungai di dunia saja sedemikian indahnya, bagaimana dengan sungai-sungai dengan air yang mengalir di surga? Ainul Mardiah bidadari surga yang disebut dalam hadist riwayat Tirmidzi itu apa akan mandi di sungai itu? Akh..., andai saja, kelak di surga nanti, aku yang mempersuntingnya walaupun kutahu hanya orang dengan akhlak termulia yang berhak mendapatkannya. Tapi, sekarang pun aku memiliki bidadari itu. Dia Mawarku yang selalu ranum dalam pandanganku. Semoga kelak, dialah Ainul Mardiah-ku.
“Tempat ini, aku lupa namanya. Aku pernah dua kali mandi di sini.”
“Sori......(?). Biasanya pada saat hari raya atau akhir pekan banyak orang-orang di desa terdekat yang menghabiskan waktunya di sini dengan keluarga atau kekasih mereka. Yaaa..., seperti kita.”
“Iya, kita. Sepasang kekasih yang dipertemukan cinta dari tanah kelahiran yang terpisah. Bertaut dalam rasa yang gagal didefinisi, bahkan oleh kita yang mengalaminya. Entah apa itu namanya. Seperti kita, yang jika saling memandang, maka indah adalah satu-satunya kata yang mampu mewakili. Kita yang saat ini sedang merampungkan kebahagiaan sepasang burung yang bertengger di sana.” Kutunjuk sepasang burung yang bertengger di dahan yang merayu pasangannya. Lagi-lagi wanita ini mengarahkan pandangannya ke arah di mana tanganku menunjuk, dan segera matanya beralih di ujung hidungku. Dalam sangkaanku, ingin rasanya dia menarik ujung hidungku, tapi ikatan hubunganku dengannya hanya sebatas kekasih, bukan suami-istri yang boleh bebas bercengkrama.
“Akh..., Sok puitis,” katanya sambil berpaling ke bebatuan di depannya.
 Batu-batu ukuran raksasa meruncing seperti taring sepanjang sungai. Tebingnya curam ditumbuhi pohon-pohon dengan akar yang menggantung, besar seperti menyimpan sesuatu yang mistis. Benar saja nenek moyangku sebelum islam datang menjamah tanah Bima dan Dompu ini menjadikan pohon-pohon besar ini sebagai sesembahan. Tempat mereka melakukan ritual dengan sesajian dari hasil mereka berburu, atau dari buah-buahan yang dikumpulkannya. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya, periode ini disebut masa food gathering, manusianya masih hidup secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan belum tahu bercocok tanam. Mereka berkeyakinan bahwa roh-roh nenek moyang mereka tinggal di pohon-pohon besar seperti itu. Makakamba-makakimbi,  begitulah sebutan kepercayaan mereka di masa lampau bahkan ada sampai sekarang.
“Alam adalah pemuisi yang terhebat. Kita hanya mampu berkata-kata dari sedikit perilaku alam ini, tidak secara keseluruhan, sebab ada bagian dari ini yang ghaib. Apa ada kata-kata yang mampu menyaingi puisi daun yang bertemu dengan angin, yang menjadikan keduanya berkisah lewat gerakan? Apa ada puisi yang melebihi keindahan air yang menabrak bebatuan sehingga mereka bersentuhan menciptakan suara yang magis? Tidak! Mereka adalah pemuisi ulung yang tidak memerlukan kata-kata. Mereka diam tapi berbicara.”
“Lalu adakah gerimis ini berpuisi?”
“Apa kau tidak sadar rinainya telah bertengger di hidungmu. Bagiku ia sedang berpuisi dengan mengajariku untuk menyadari betapa indah wajahmu.”
“Hahaha..., selalu saja seperti itu.”
Gerimis mulai turun jarang-jarang, sedang langit tampak hitam. kelihatan sekali awan-awan yang bertengger di atas sana menyimpan gelembung air yang akan segera ditumpahkannya. Dangau tanpa atap yang kesepian di pinggir sungai tidak bisa dijadikan tempat berlindung, maka kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Hujan-hujanan. Kini bumi “Nggahi Rawi Pahu” telah dipijak. Kota Dompu mulai menjamah mataku. Hujan deras membuatnya kelihatan sepi seperti kota mati. Sesekali berpapasan dengan kendaraan yang terpaksa menembus hujan karena terburu-buru, atau sedang mengalami hal yang sama denganku. Dari balik jaketku, Mawar kedinginan. Jaket kulit yang tidak tembus air itu hanya mampu menjaga bagian kepalanya, lain tidak. Memang lelaki terlahir sebagai pelindung. Mahluk yang lebih kuat dari wanita, tapi mereka sebenarnya lebih rapuh dari wanita itu sendiri. Mahluk yang memiliki ego lebih tinggi itu akan rela kedinginan saat hujan untuk melindungi kekasih yang sangat dicintainya. Ia adalah atap jika diibaratkan sebuah bangunan. Dompu, di masa lampau memang lebih dulu ada. Kerajaan ini ada jauh sebelum kerajaan Bima ada dan pada masa itu Bima hanya sebuah wilayah yang hanya dikuasai oleh para Ncuhi. Sebuah kerajaan yang pernah menjadi korban dari perluasan wilayah kerajaan majapahit dan menjadi tumbal sumpah Palapa-nya Maha patih Gajah Mada yang ingin menyatukan nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Peristiwa itu juga yang telah mengawali berdirinya kerajaan Bima yang pada saat itu, Laksamana Nala, yang ditugasi melakukan ekspansi perluasan wilayah menisbatkan diri sebagai Sang Bima dan menikahi  putri seorang nelayan yang menolongnya saat kapalnya karam sebelum sampai pada kerajaan dompu, lalu membentuk kekuatan yang juga dibantu para Ncuhi dan pasukan Majapahitnya sehingga kerajaan Dompu dapat ditaklukkan. Laksamana Nala inilah yang dipercaya menjadi cikal-bakal berdirinya kerajaan Bima.
Bersambung.

Kamis, 08 Oktober 2015

Doro Raja 4


Di beranda malam, di bawah cahaya bebintang, di halaman depan rumah kami semua tertawa ringan di sela-sela senda gurau. Aku, Mawar, Dae, Bunda dan saudaraku yang berjumlah 7 orang. Cukup ramai. Mereka kejar-kejaran menggoda si bungsu yang imut dan wajahnya sering menyita perhatianku. Lelaki kecil yang belum genap sepuluh tahun itu, kata bunda, mirip aku waktu seumuran dia. Tapi, kelihatannya dia jauh lebih tampan. Lelaki kecil ini jadi inspirasiku. Dia terbilang anak yang baik bila dibandingkan dengan anak-anak lain. Sebagai anak pertama dalam keluarga ini, aku selalu mendidik si bungsu dengan baik.  Aku selalu yakin, bahwa sejatinya tak ada anak yang benar-benar jahat. Mereka hanyalah produk orang tuanya, lingkungannya, produk sekolahnya, bahkan hasil produk bangsanya.  Aku terkesan dengan anak-anak di jepang, di mana anak seumuran ini mainannya adalah robot. Tentu saja lingkungannya itu akan mengubah cara berpikirnya dan tidak heran negara Ceryy Blossom itu menjadi salah satu negara indutri terbesar. Di sini, di negara ini, khususnya di desaku, anak-anak seumuran dia hanya mengenal, Kawongga, kaleli, dan mainan tradisional lainnya. Aku senang mereka sangat bahagia, sesekali mengitari tungku perapian dengan bara yang menyala. Di atasnya ayam panggang hampir matang. Di bawah pohon, Mposu yang rindang, pohon dengan daun lebar dan buahnya bulat bergerigi serta sedikit lebih kecil dari buah jambu biji. Tentu saja rasanya tidak pernah kutahu, sebab buahnya tidak bisa dimakan. Hanya jadi media untuk berteduh. Ini dalam sangkaanku mirip penyair, di mana para penyair itu akan berteduh di bawah rindangnya puisi, buah syair dan tenggelam di dalamnya dalam bentuk sunyi yang damai. Dunia sunyi ini memang selalu bercerita lebih banyak. Ia berbicara dalam diam. Jiwanya tenang dan lapang, di mana sekumpulan kalimat berkembang biak di sana, di sabana hatinya yang sunyi selalu ada ruang yang gegap gempita bagi kalimat itu untuk bercerita. Bercerita apa saja. Dunia yang aneh, maka tidak heran pelakonnya hanya sedikit. Bagiku, berada di tengah-tengah keluarga sederhana ini, aku telah menatap hidupku dari cara yang berbeda. Cara sunyi yang hanya bisa kupahami sendiri. Orang tua yang masih lengkap, saudara yang banyak, dan saat ini, di tengah-tengah mereka ada seseorang yang bernama, Mawar. Aku merasa dia sedang dilanda haru biru. Masa-masa yang hilang sejak lama dihadirkan kembali. Mawar telah kehilangan ibunya sejak lama, dan bapaknya lebih asyik dengan istri baru, maka tidak heran senyumnya lebih lama mengembang dari biasanya ketika saat-saat seperti ini mengguyur hari-harinya, atau senyumnya padam seketika lantaran kejadian ini mengingatkannya akan sesuatu yang susah payah dia lupakan. Lewat senyum itu, aku mendengar  “Aku seperti kembali ke masa-masa dulu. Makan bersama dengan keluarga yang masih lengkap. Terima kasih,” begitu katanya. Kata-kata yang tidak sempat keluar. Mungkin haru biru telah mencekik kerongkongannya, atau..., ?
“Mawar, itu bintang yang luput dari mata kita kemarin waktu di Gunung Raja.” Demi melebur duka dan bahagia yang berbaur di kepalanya, aku mencairkan suasana. Aku selalu menyukai bintang. Semakin kukagumi bintang itu, akal dan pengetahuanku semakin tumpul dan mengerucut pada tangan Tuhan yang telah meraciknya. Betapa kecilnya aku di hadapan Tuhan. Betapa sebiji bintang tercipta di luar jangkauan pengetahuanku, betapa pun kuhabiskan semua umurku untuk mempelajari, apalagi di bentangan langit yang maha luas itu ada jutaan bintang. Tak ada satu tangan pun yang sanggup menyaingi tangan-Nya.
“Iya, aku lihat, Kak! Kemarin ngumpet di mana, ya, itu bintang?” Matanya mengikuti arah di mana telunjukku menunjuk.
“Ngumpet di matamu.” Tanganku yang tadinya menuding langit, kini telah menunjuk matanya. Tepat di depan matanya untuk menguatkan pendapatku bahwa bintangnya benar-benar bersembunyi di matanya. Wanita ini, kalau memandang pasti lekat, dan gugusan indah racikan Tuhan di wajahnya teduh dalam pandanganku.
“Bintang itu, kan, satu, Kak. Mataku ada dua,” katanya protes sambil kedua telunjuknya dia tempatkan di bawah kelopak matanya. Aku suka melihatnya seperti itu.
“Itu namanya, Rigil Kent, dan jenis bintangnya bintang ganda, artinya lebih dari satu bintang. Kelihatannya saja satu, tapi nyatanya lebih dari satu bintang. Bisa sepasang seperti matamu, tiga dan bisa banyak. Rigil Kentaurus juga dikenal sebagai Alpha Centauri, adalah bintang paling terang ketiga di langit.” Mawar, kalau mendengarkanku membicarakan bintang, tampaknya dia lebih senang. Tenang. Matanya selalu berakhir di ujung hidungku. Katanya, bagian itu adalah tempat terunik yang dia suka. Bisa kubaca dari wajahnya. Sobat! Kuberi tahu, pintu untuk menarik masuk seseorang dalam dunia kita adalah lewat apa yang dia suka. Kalau dia menyukai taman dengan suasana bunganya, maka sempatkanlah diri mengajaknya ke taman. Apalagi sampai menjelaskan detail taman dan bunganya. Jelaskan padanya rumput teki yang berbunga seolah sedang memperkenalkan Cerry Blossom atau yang kita kenal dengan nama sakura jepang. Kalau dia suka coklat, sisihkan uang untuk membelikannya. Tidak perlu sering, cukup berikan di hari-hari bersejarah dalam hidupnya. Misalnya, sesederhana hari jadi hubungannya denganmu, maka jiwa-raganya akan diserahkan sepenuhnya kepadamu. Lakukanlah seikhlas mungkin dan dengan niat yang baik, maka hari-hari dan hidupnya akan digantungkannya padamu. Apa yang ada padamu adalah dunianya. Dia akan melihat dengan matamu. Berjalan dengan kakimu dan hidup dari udara yang engkau hirup. Orang tua adalah tempat anak-anaknya bergantung, sebab wajah merekalah yang pertama kali muncul dalam ingatannya ketika seorang anak sedang sedih dan bahagia. Tampillah di hadapan mereka sebagai seorang yang pantas menggantikan mereka. Menjadi kekasih, kakak, sahabat tempat segala keluhnya bermuara, maka hidupnya adalah milikmu. Rupa-rupanya, wanita yang bernama, Mawar, ini sedang membangun kasih dengan pakarnya.
“Aina ipi doho kalao ade ana dohoe.., ta ngaha mena waura. Waura mami edaku utake,”1 ajak Dae sambil ayam panggang di perapian diangkatnya dan diletakkan di sebuah piring ukuran jumbo. Dengan tangkas, Bunda, memotongnya kecil-kecil dan diletakkan di tengah-tengah lingkaran kami yang berjumlah sepuluh orang itu. Kami duduk melingkar di sebuah “sarangge”, semacam dangau tanpa atap dan bentuknya persegi empat beralaskan “dipi fanda”, karya asli Bima, dari anyaman daun pandan yang tumbuh liar di sepanjang sungai di desaku. Pengrajinnya sudah tinggal beberapa orang saja, bersamaan dengan pohon pandan yang hampir punah. Menu “Romantic dinner for eleven” malam ini adalah ayam panggang, sayur asam, doco mangge khas Bima, yaitu campuran asam muda, bawang merah, garam dan penyedap. Cukup sederhana.
“Cua kanaru lalopa rima re ana dohoeee..,”2 kata Bunda.
“Kalembo ademu ana ndo..., akepa mawara. Kombisi ra biasa kaimu ngaha ma mewa aka umamu ni?”3 Dae menimpali. 
“Samapa, Dae, akepa mori kai rau mada aka uma ta,”4 jawab, Mawar, dengan suara pelan. Wanita ini murah sekali senyumnya. Lebih sering tertawa. Aku menarik kesimpulan bahwa mereka yang suka tertawa, terlebih kecenderungannya menghibur adalah mereka yang seharusnya butuh dihibur. Dengan tangkas, Mawar, membantu, Dae, Aku dan yang lain menyiapkan nasi dalam piring masing-masing. Kami makan dengan lahap. Duduk dengan rapi. Orang Bima memiliki kebiasaan unik ketika makan. Adab makan yang secara turun temurun diajarkan. “Doho Barasila” bagi lelaki, secara harafiahnya berarti duduk bersilang, dan “Doho Kepa” sederhananya duduk dengan posisi ke dua kaki sejajar ke keri atau ke kanan. Mirip duduk tahiyat dalam sholat.
“Ngaha roci mena, waura eli ringaku biola ka,” Dae memperingatkan. Di desaku, rupanya tadi sore ada yang menikah. Setelah makan dan sholat isya berjemaah, kami menonton acara hiburan malam. Biasanya, di Bima, pada malam hari setelah resepsi pernikahan akan diadakan pentas hiburan sederhana dengan musik biola dan beberapa penyanyi yang mahir dalam “Patu Mbojo” yang berarti pantun Bima. Hebat dan unik penyanyi ini, pantun dinyanyikan dengan diiringi musik biola. Biasanya mereka duduk di samping kiri dan kanan pengiring. Treatrikal klasik ini menjadi ciri khas Bima, di mana pengiringnya menampilkan diri sekelas “Peniup yang pandai”. Si misterius yang membebaskan kota Hamelin di jerman dari wabah tikus hitam dalam legenda negara itu dengan cara meniup sebuah pipa aneh, dan semua tikus mengikutinya keluar kota dan masuk ke sungai. Atau, bisa sekelas George Frederick Handel, komponis opera terkenal dengan oratorio dari jerman itu. Mereka cukup digandrungi wanita. Dikenal luas dan tampilannya berbeda, rambut gondrong, ciri khas seniman.
“Audi baena douma campo bou
Cua ngasa ra ngehi nefa konena ngaha
Edempa dou maloa ka’ao
Sara’ana di’iu
Maloana eda aura nggahi ba ade
Tiwara au ne’e ra di urimu
Surampa tenggoku uru
Samporo na langa ade na balingo
Lingi na ade samporo da eda
Arieee...kone lao ndeumu tikauku lampa ndaimu
Kadende ra ouku...dende wa’aku di oi
Auku baena douma campo bou
Doco sia dungga tio pahu angi ti dengga
Kawarasi wunga nika
Ndai cua rawa ta maniki
Disa kaiku lao raka aipu edena
Arieee...badeku nggomi ma bareka
Disa kaina karido ba douma tuaku
Badena nggomi makani karudu
Eee...aule nggomi dibae cumpura neeku mabou
Ntenepa nggomi di mode sampe sa made.”
Di Bima, dalam hal menikah ada kebiasaan unik. Terlebih segala kegiatan dan persiapan pranikah. Lain lubuk, lain pula ikannya. Lain padang lain belalang, lain pula ilalang. Peribahasa ini lebih tepat menggambarkan Indonesia yang majemuk. Di Bima saja kemajemukan itu menjadi ciri khasnya, di mana setiap desa yang ada di Bima memiliki gaya berbicara masing-masing. Meski menggunakan bahasa yang sama, namun logatnya berbeda, dalam bahasa Bima disebut “Sentu”. Pada nama-nama barang tertentu kadang sebutannya berbeda, dan uniknya lagi, di beberapa desa di Bima dalam hal berpakaian dapat dikenali dari desa mana dia berasal. Unik sekali. Daerah Bima didiami oleh dua kelompok penduduk asli, yaitu Dou Mbojo (Suku Mbojo = Orang Bima) dan Dou Donggo (Suku Donggo). Menurut para sejarahwan dan antropolog budaya, bahwa orang Bima berasal dari kelompok masyarakat hasil pembauran penduduk asli dengan kaum pendatang dari Sulawesi Selatan, Jawa, Sumatera dan suku-suku lainnya di nusantara terutama dari Makassar. Proses pembauran itu berlangsung sejak zaman Kerajaan sampai zaman kesultanan pada abad 11 hingga awal abad 20. Pernikahan silang antara penduduk asli dengan suku Makassar berlangsung pada masa pemerintahan Raja Manggampo Donggo pada awal abad 16 M sampai akhir masa pemerintahan Sultan Abdullah pada tahun 1868 M. Sedangkan suku Donggo adalah kelompok penduduk asli yang bermukim di pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat dan tenggara teluk Bima yang dikenal dengan Dou Donggo Ipa dan Donggo Ele. Orang Donggo Ipa bermukim di sebelah barat teluk Bima yaitu di gugusan pegunungan Soromandi. Sedangkan Dou Donggo Ele bermukim di sekitar pegunungan Lambitu. Kenapa dinamakan Donggo? Donggo dalam Bahasa Bima lama berarti “Gunung dan dataran Tinggi” Jadi Dou Donggo Ele berarti orang dataran tinggi sebelah timur. Sedangkan Dou Donggo Ipa berarti orang dataran tinggi sebelah barat teluk Bima. Aku sering ke sana, baik di Donggo ele maupun Donggo ipa. Aku pernah iseng bertanya kenapa dinamakan Donggo? Dengan lelucon khasnya seseorang bercerita padaku, bahwa dulu waktu dijajah belanda mereka mengungsi dari dataran rendah ke pegunungan dengan tujuan menghindari orang asing. Pada saat itu ada orang asing menegur mereka dengan bahasa Inggris “Don’t go” yang artinya jangan pergi, tapi mereka tetap saja pergi, dan berawal dari situlah nama “Donggo” dalam sebutan orang Bima dipakai sebagai nama suku di sana. Tidak berdasar dan tidak memiliki bukti. Mengakhiri ceritanya, orang itu tertawa ringan. Entah dari mana cerita itu berawal, tapi itulah lelucon mereka yang ingin kuabadikan di sini. Pada awalnya, suku Mbojo memang menempati gunung-gunung  yaitu pada masa Ncuhi pada abad 13 Masehi sebelum kerajaan Bima terbentuk. Pola bertahan hidup dengan berburu dan memakan tumbuhan di hutan adalah bentuk kehidupan zaman ncuhi untuk melangsungkan kehidupan mereka. Setelah Raja pertama Indra Zamrud yang terbentuk tahun 1200 Masehi naik tahta menjadi Raja, pola kehidupan di atas gunung berangsur-angsur pindah mendiami dataran. Indra Komala, saudara Indra Zamrud yang memiliki keahlian di bidang pertanian  mulai mengajarkan pola kehidupan dengan bercocok tanam. Orang-orang ramai “Mpungga dana” yaitu Membangun sawah-sawah baru di daerah dataran tertentu yang dekat dengan mata air. Namun, kebiasaan bercocok tanam di gunung masih dilakukan hingga sekarang. “Ngoho Oma” masih digeluti suku Bima dengan membabat hutan sampai gundul hingga pada masa Pemerintahan, Ama Emo, yaitu Bupati Bima Umar harun mencanangkan istilah pemerintah yang dikenal “Ngaha aina Ngoho” sampai sekarang yang betujuan mengajak suku Bima untuk mencari makan, tapi jangan sampai menggunduli hutan. Orang-orangnya keras, namun dikenal ramah, memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Aku sering mewawancari orang-orang dari daerah lain yang merantau di Bima mengenai keadaan orang-orang Bima. Mereka memiliki jawaban yang sama, katanya, tak ada solidaritas sosial yang lebih tinggi dari solidaritas yang saya temukan di Bima ini. Di sisi lain, aku juga sering mewawancarai bagaimana perilaku orang Bima ini di daerah lain, katanya, mereka adalah orang-orang yang berani, keras, namun pesona keramah-tamahan yang dibekali di tanah kelahiran tetap melekat dalam diri mereka. Terlepas dari hal itu, dalam hal menikah, karena dianggap sakral dan sangat penting sebagai gerbang awal yang dilalui sepasang kekasih atau remaja untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, maka dalam hal ini, orang Bima memiliki aturan yang baku sekaligus aturan itu diurut berdasarkan urutannya. Menikah dalam bahasa Bima “Nika ro Neku” adalah salah satu “Rawi rasa” yaitu kegiatan yang melibatkan semua warga dalam desa di mana kegiatan tersebut dilaksanakan atau dari desa lain. Bersumber dari tetua adat, budayawan dan orang-orang yang cakap dalam hal itu, berawal dari sebuah ketertarikan seorang lelaki atau perempuan, diadakanlah kunjungan rahasia oleh orang tua untuk mencari jodoh putra dan putrinya yang hanya diketahui oleh pihak keluarga saja. Cara ini dimaksudkan agar tidak menjadi fitnah apabila di kemudian hari terjadi penolakan atau hal-hal lain yang tidak mengenakan. Kunjungan yang dikenal dengan istilah “La lose ro la ludi” atau “Nari ro mpida” ini sebagai upaya awal untuk mengetahui apakah gadis dan jejaka belum menjadi tunangan jejaka dan gadis lain. Dulu, upaya ini hanya dilakukan oleh orang tua pihak pemuda untuk mencari jodoh putranya, tapi kemajuan zaman dan pola berpikir orang-orang Bima, itu berlaku juga bagi orang tua gadis dalam mencari jodoh untuk putrinya dengan alasan pemuda tersebut baik akhlaknya, atau bisa karena materi dan jabatan. Potret kehidupan kekinian dan tak terbantahkan. Sangat bertolak belakang bahwa pernikahan merupakan ibadah yang disyariatkan dalam islam. Diawali dengan niat yang benar, penuh berkah, memperbaiki akhlak dan menjauhi kemiskinan. Bukankah tujuan menikah itu untuk tujuan ibadah dengan kata lain menjaga diri dari perzinahan, menundukan pandangan, atau semata mahabbah kepada-Nya. Dengan berpantun dan bersyair, “Ompu panati” beserta keluarga terdekat melakukan kunjungan kedua dan menyampaikan maksud untuk meminang setelah mendapati kepastian bahwa gadis tersebut belum dilamar pemuda lain. Ompu panati adalah orang yang dipercaya dan dipandang ahli dalam hal pinang-meminang. Demi mempererat tali silaturahmi dan rasa persaudaraan karena telah diikat oleh kunjungan pertama dan kedua, maka ke dua keluarga bebas saling mengunjungi dalam batas yang wajar dan normatif. Ini disebut “Pita nggahi” yang dimaksudkan untuk  mempererat hubungan kekeluargaan kedua keluarga. Sebelum “Ngge’e Nuru” dilakukan terlebih dahulu keluarga pemuda melakukan kunjungan dengan berbekal “Mama” yaitu makanan yang terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sirih. Selain itu dibawakan juga kue tradisional serta buah-buahan yang dikenal dengan “Wa’a mama”. dan dilanjutkan upacara “Wa’a Sarau” yang biasa dilakukan pada saat musim menanam. Ngge’e Nuru artinya tinggal bersama di rumah calon mertua yang menandai resminya lamaran diterima. Ini dimaksudkan untuk menanti bulan dan hari baik untuk melaksanakan pernikahan. Selama “Ngge’e nuru” sang pria akan dinilai layak tidaknya mempersunting gadis pujaannya. Itu artinya sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik, tidak malas, rajin sholat dan sebagainya. Jika tidak, maka lamaran bisa dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan yang menandai putusnya ikatan. Diadakan pula acara “Mbaju” yang bertujuan untuk mengumpulkan dana pernikahan. Biasanya seluruh warga kampung akan membawa minimal sebaskom gabah dan maksimalnya bisa beberapa karung. Acara ini ditandai dengan datangnya seseorang yang ditugasi oleh yang berhajat ke tiap-tiap rumah bahwa pada hari itu, tanggal sekian, namanya siapa, akan mengadakan acara “Mbaju”. “Kangoa ra karingaku naisi mbaju la............, nika ana na la.........” Kalimat ini, saking sering kudengar, bahkan anak kecil pun menghafalnya. Kalimat inilah yang diucapkan oleh petugas yang mengumumkan adanya acara ini. Selain itu, sepanjang hari di saat acara “Mbaju” berlangsung akan diputar musik tradisional “Rawa Mbojo” yaitu pantun yang dinyanyikan dengan diiringi musik biola, atau gambus dengan pengeras Toa yang diangkat tinggi-tinggi menggunakan tiang berupa bambu seukuran 20 meter supaya seluruh warga kampung mendengar dan akan mendatangi sumber suara. Malamnya akan diadakan kumpulan kelurga setelah dilayangkan undangan yang bertujuan mengumpulkan dana berupa uang. Semua warga ikut menyumbang dari nominal terendah 20 ribu sampai jutaan dan dicatat besaran nominal dan nama penyumbangnya. Ini dimaksudkan untuk mengetahui jika penyumbang mengadakan upacara yang sama, maka penerima sumbangan akan menyumbang pada penyumbang dengan nominal yang sama. Setelah itu diadakan “Mbolo ro Dampa” ( Musyawarah ) untuk menentukan hari dan bulan yang baik untuk pelaksanaan nikah. Jumlah atau besar kecilnya mahar serta persyaratan lainnya semua diputuskan dalam mbolo ra dampa. Setelah hari pernikahan diputuskan bersama, maka calon penganten putri harus melakukan ketentuan adat yang disebut “nggempe”. Pada tahapan ini calon penganten perempuan tidak leluasa lagi meninggalkan rumah untuk bergaul dengan teman – teman sebaya. Ia harus berada di pamoka (loteng) didampingi oleh seorang tokoh adat perempuan sebagai “Ina ruka” (inang pengasuh) bertugas untuk membimbing dan menasehati calon penganten. Selama nggempe calon penganten akan ditemani oleh beberapa teman gadis sehingga tidak merasa kesepian. Sesuai keputusan Mbolo ro dampa, maka beberapa hari menjelang lafa (akad nikah), akan dilangsungkan upacara wa’a masa nika (pengantaran emas nikah) atau wa’a co’I (pengantaran mahar). Upacara dilaksakan sore hari sesudah sholat ashar, diikuti oleh keluarga, ompu panati, ulama, tokoh adat dan para kerabat. Para peserta akan berangkat dari rumah orang tua penganten laki – laki, berbusana adat yang sesuai dengan status sosial masing – masing. Rombongan pengantar mahar (dende wa’a co’i) akan dimeriahkan dengan atraksi kesenian Jiki Hadra (jikir hadrah) diiringi musik Arubana (rebana). Setibanya di rumah calon penganten putri akan disambut dengan tarian “wura bongi monca” (tari menabur beras kuning) dan atraksi mpa’a sila, gantao dan buja kadanda. upacara pengantaran calon penganten putri dari rumah orang tuanya menuju uma ruka (rumah untuk penganten). Dilaksakan pada bulan purnama sesuai sholat Isya. Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas rumah orang tuanya dan diusung ke uma ruka ( rumah penganten). Diantar oleh sanak keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam sesuai dengan status sosial dan usia pemakai. Dimeriahkan dengan atrasi jiki hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana.Pada waktu yang bersamaan di uma ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan pada upacara kapanca). Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya rombongan calon penganten putri di uma ruka. Setibanya di uma ruka, rombongan penganten disambut dengan tari wura bongi monca dan dimeriahkan dengan atraksi mpa’a sila, gantao dan buja kadanda. Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di Uma Ruka, maka akan dilanjutkan dengan upacara kapanca (penempelan inai). Upacara kapanca atau penempelan inai di atas telapak tangan calon penganten putri dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Dilakukan secara bergilir diiringi dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan musik. Syair jikir berisi pujian atas kebesaran dan kemuuliaan Allah dan Rasul. Sebelum prosesi Akad Nikah, calon penganten puteri meminta ijin kepada orang tuanya untuk menikah. Prosesi ini berlangsung di Uma Ruka, atau di tempat tidur yang sudah dirias. Inilah proses Weha Nggahi atau meminta restu ayah bunda sebelum menikah. Didampingi oleh penghulu, calon penganten puteri bersujud dan mencium tangan ayah bundayanya. Lalu memohon ijin kepada ayahnya. “ Ayah, ijinkan saya menikah dengan Si Fulan. Maafkan atas segala kesalahan dan khilaf selama ini.” “ Baiklah anakku, Aku ijinkan engkau menjadi istri Si Fulan. Semoga kalian mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat”. Terkadang prosesi ini mengharukan. Banyak orang-orang yang sempat menyaksikannya berurai air mata. Karena prosesi ini tidak sekedar meminta ijin orang tua, tapi memiliki makna yang luas, karena nikah adalah perjalanan mengarungi bahtera yang terbentang penuh tantangan. Lafa atau Akad nikah merupakan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya akad nikah adalah upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan manusia. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan Tuhan. Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua(Orang Yang Dituakan) dan ompu panati akan melaksnakan satu upacara adat yang dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu. Secara harfiah “hengga dindi” berari “buka tabir”, atau hengga kalambu berarti “buka kelambu”. Sebelum masuk ke kamar bunti siwe, bunti mone (penganten laki – laki) bersama pendamping berdiri di luar “dinding satampa” (tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan. Upacara dimulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati. Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan syair dan pantun. Sambil melemparkan beberapa keping uang perak ke dalam tabir. Setelah lemparan ketiga, akhirnya ina ruka membuka dindi satampa( Tabir pembatas). Dengan mempersembahkan puji syukur kepada Allah SWT, disusul dengan bacaan basmallah, akhirnya bunti mone bersama gelara dan lebe didampingi ompu panati dan keluarga memasuki kamar bunti siwe. Sesudah berada di dalam kamar, bunti mone melaksanakan shalat sunat dua rakaat untuk memohon kehadapan Allah SWT, agar mahligai rumah tangga selalu mendapat rahmat dan hidayah-Nya. Kini tiba saatnya bunti mone untuk melangkah mendekati bunti siwe guna melaksanakan upacara nenggu, yaitu mempersembahkan jungge ke sanggul sang bunti siwe tercinta. Upacara ini kadang – kadang disebut upacara cepe jenggu.Bunti mone mengawali upacara dengan mempersembahkan sekuntum jungge kala( Sanggul Merah) sebagai isyarat bahwa bunti mone seorang gagah berani, namun jungge kala lambang keberanian dibantik oleh bunti siwe. Kini bunti mone mempersembahkan jungge monca (Sanggul Kuning) kepada sang istri tercinta bunti siwe. Namun apa hendak dikata, jungge monca lambang kejayaan juga ditolak oleh bunti siwe. Bunti mone tidak putus asa, di tangan masih ada sekuntum jungge bura(Sanggul Putih) sebagai lambang keikhlasan hati dalam membina mahligai rumah tangga. Penyerahan jungge bura(Sanggul Putih) disambut gembira oleh bunti siwe. Jungge bura sebagai simbul keikhlasan lebih utama dari sekuntum bunga merah dan kuning. Karena keberanian tanpa keikhlasan akan menimbulkan petaka bagi keluarga. Kejayaan diraih dengan hasad dan dengki tidak akan berguna. Semua perjuangan tanpa kesucian akan sia – sia. Setelah itu acara Boho Oi Ndeu (Siraman) disebut juga Elo Rawi. Elo Rawi terdiri dari kata “elo” dan “rawi”. Elo berarti ekor atau akhir, sedangkan “rawi” berarti pekerjaan, dalam hal ini berarti “upacara”. Pengertian Elo Rawi dalam upacara adat Bima adalah upacara adat yang mengakhiri seluruh rangkain upacara adat tersebut. Boho oi ndeu adalah upacara memandikan penganten, dilakukan oleh ina ruka dan disaksikan oleh kaum ibu. Berlangsung pagi hari jam 09.00. karena itu upacara ini di namakan “boho oi ndeu” atau menyiram air mandi. Pada upacara boho oi ndeu, kedua penganten berdiri di atas “tampe dan lihu” (dua jenis alat tenun tradisional), keduanya berdiri menghadap kiblat. Badan mereka disatukan dengan ikatan “ero lanta” (benang putih). Kemudian di sekitar penganten dinyalakan lampu lilin. Sesudah upacara boho oi ndeu, maka dilanjutkan dengan upacara adat yang di kenal dengan “Ngaha Nggula”. Sebenarnya upacara ini merupakan upacara do’a yang dihadiri oleh gelara, lebe dan para tokoh agama dan adat beserta sanak saudara. Dalam upacara ini para undangan akan menikmati makanan khas Mbojo yaitu “Mangge Mada”. Mangge mada sejenis lauk pauk yang dibuat dari isi perut kambing atau kerbau, yang di cincang halus. Kemudian dicampur dengan santan kelapa, diberi bumbu “ringa” (wijen) dan bumbu khas Mbojo yang lain. Pada sore hari sesudah sholat ashar, dilanjutkan dengan upacara adat “tawori” atau “pamaco”. Upacara ini berlangsung di uma ruka dihadiri oleh para sanak keluarga atau anggota keluarga saja. Dalam upacara tawori atau pamaco, seluruh keluarga akan datang memberikan sumbangan kepada penganten baru untuk dijadikan modal dalam membina rumah tangganya. Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk keluarga dalam rangka mengumpulkan sumbangan untuk kedua penganten. Para handai taulan serta kerabat di luar lingkungan keluarga sudah hadir pada mada rawi yaitu upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang menganjurkan kita menghadiri upacara lafa (akad nikah).Para kerabat dan seluruh masyarakat di sekitar sudah memberikan sumbangan pada awal pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang bermai – ramai untuk melaksanakan “teka ro ne’e” (memberikan sumbangan).Pada perkembangan selanjutnya, upacara tawori atau pamaco dikenal dengan istilah rama tamah atau resepsi pernikahan. Pada masa sekarang sumbanngan yang diberikan oleh undangan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga penganten, sehingga tujuan dari upacara sudah tidak sama dengan tujuan tawori atau pamaco masa lalu.
Bersambung. 

Doro Raja 3


“Kenapa diam?”
“Aku sedang berenang di udara. Menyusup di sudut-sudut bumi antara harapan dan pertanyaan. Aku baru saja belajar arti sebuah ketulusan, pengorbanan atas perujudan rasa. Aku sedang menduga-duga, mengenalmu, apakah itu anugerah, cobaan atau pelajaran, sebab di awal saja engkau telah mengajariku banyak hal. Mengajariku berenang di udara. Mengajariku membangun harapan sekaligus menciptakan sebuntal pertanyaan.”
“Merenang di udara..., apalagi itu?”
“Keindahan yang kautawarkan membuatku merasa berenang di atas udara. Membuatku berani membangun harapan, dan pertanyaan itu muncul begitu saja, kenapa orang sepertimu tidak kutemukan lebih awal sebelum hatiku diremukkan oleh ujud cinta yang salah.”
“Jika aku takdirmu, dan bila engkau adalah takdirku, kelak, satu selimut adalah kita. Tapi, hari ini kita hanya diperuntukan membangun sebuah keyakinan sementara perjalanan kita masih panjang, jauh  dan penuh misteri. Kisah ini baru kita mulai, dan esok siapa yang tahu.”
“Kak!” Dia menggenggam tanganku yang kebetulan kumasukan sejenak dalam kantong jaketku untuk menghangatkannya, dan motor kubawa dengan satu tangan. Erat sekali dan berusaha menatapku wajahku yang sedang fokus melihat ke depan. Aku tidak mau sampai tertabrak atau jatuh hingga menoleh pun tidak. Tapi, jelas kutahu maksud dari semua itu. Dalam pemaknaanku, lelaki ini, bathinnya, telah membuatku takut kehilangan. Lelaki ini, baru di awal telah menabur adiwarna dalam hidupku. Lelaki penyayang ini..., akh, aku jadi berlebihan.
Jam telah menunjukkan angka 3.55 sore. Hari telah sore lagi. Matahari beringsut tanpa kompromi. Bintang yang memiliki diameter 1.390.000 km dan menjadi pusat tata surya kita itu memberi pesan besar pada kehidupan selain perannya bagi kelangsungan hidup di bumi. Uniknya, ia menjadi tanda permulaan siang sekaligus permulaan malam. Permulaan terang dan permulaan gelap. Permulaan hidup dan permulaan mati. Jelas, jika kematian itu gelap, maka kehidupan adalah terang. Susah untuk menemukan akhir dalam hidup ini, sementara jika hidup pun berakhir, itu menjadi sebuah permulaan. Akhirat benar ada, tapi akhir perjalanan tidak pernah ada dan ini bukan sekadar metafor paranoid yang terlepas dari bukti teologinya. Apakah surga dan neraka menjadi akhir perjalanan? Akh..., bukan, lantaran di surga dan neraka perjalanan masih berlanjut. Dan hari ini, aku menyadari bila harus kehilangannya, setidaknya dia telah memberi warna berbeda dalam hidupku. Entah nanti aku dihadapkan pada kenyataan tentang kehilangan, aku telah diajari hidup di masa lalu bahwa kehilangan ada untuk benar-benar memahami sebuah keberadaan. Betapa keberadaan seseorang dalam hidup akan menentukan perjalanan selanjutnya. Betapa hati yang terlanjur bertaut sulit terpisah walau raga memungkiri. Hati, mungkin hanya sebongkah daging, namun akan sulit terlepas pada jejak yang pernah ia rekam walaupun perpisahan menghianatinya. Logika, sesuatu yang bersumber dari kepala itu mungkin yang paling canggih memilah bahwa takdir itu sudah ditetapkan dan menjadi bagian dalam sejarah hidup, tapi di hati tetap menyisakan kedukaan tak tertanggungkan. Setahuku, tak ada yang paling menyakitkan dalam hidup ini, kecuali cinta dan kehilangan. Dan, tak ada yang paling indah mengubah daun kering menjadi hamparan sabana menghijau kecuali cinta. Menjadi sabana di matanya, tapi tetap daun kering di mata orang lain. Aneh. Setiap kehilangan akan membawa serta sebagian besar yang kita miliki. Hati, semangat, cita dan cinta akan dibawanya serta. Kita mungkin akan mencintai orang lain, tapi kita tidak akan mencintainya dengan hati yang utuh, sebab sebagiannya telah dibawa lari oleh kehilangan. Sisanya hanya jejak yang terpahat di sudut hati, sudut kamar, di jendela, di jalan dan di mana saja tempat dicecerkannya rindu dan cinta dahulu, dan sisanya merupa buntalan duka dan rekam jejaknya sungguh menyakitkan. Bisa berupa hujan, air mata, pelangi, bunga, coklat dan bisa berupa apa saja. Ada yang diberi bahagia dan ada yang diberinya nelangsa. Semua tak akan pernah sama. Sekalipun betapa kerasnya kita mencoba. Bila itu mungkin, maka lebih mudah menggali bumi sampai lapisan ketujuh. Harap bintang hendak di tangan, apa daya kaki masih menginjak bumi. Oh.., rekam jejak seperti itukah yang dibawa wanita ini di hidupku yang baru saja sembuh? Duwh..., dari mana datangnya bulir bening payau ini? Lelaki ini..., akh..., cengeng.
“Rumahnya masih jauh, ya, Kak?”
“20 menit dari sekarang sampai, kok, Mawar. Mawar, kamu cantik sekali. Tapi kita mampir dulu di sakuru, ya. Di rumah nenek sekaligus bernostalgia dengan tanah kelahiranku.” Tak lama kemudian kami telah sampai di sakuru dan memasuki sebuah gang tikus, sempit dan menikung. Sebuah desa  di wilayah Kecamatan Monta, Kabupaten Bima. Desa yang menjadi penyaksi lahirnya seorang bayi. Penyaksi celoteh pertamanya. Penuh bebukitan tinggi sejauh mata memandang. Bebatuan yang bertengger di sana seukuran raksasa seolah menjadi penjaga rumah-rumah penduduk yang ada di bawah kakinya. Pohon-pohon jati dan snokeling yang tumbuh jarang-jarang di atasnya seolah bergumul dengan awan-awan. Oh..,sepoi yang  membuat dedaunan berdansa. Sejuk. Di sana, dulu, seorang anak lelaki menatap hidupnya dan di tangannya bertaut benang layang-layang. Tumbuh di balik semak bersama beban yang nyaris tak pernah ada dalam kepalanya. Kaki telanjangnya kuat mencengkeram bebatuan yang membentuk tebing yang curam. Dan, seandainya terjatuh, maka hancurlah tubuhnya berkeping-keping. Keahlian yang diajarkan alam padanya. Indah memang desa ini dan kenangan itu. Begitulah hidup. Setiap jejak ada kenangan dan boleh jadi sementara hilang, tapi jejak yang pernah dipijak akan membuka kembali kenangan itu sekalipun terkubur dan terpendam dalam. Detail-detail yang hilang itu akan hidup kembali. Akh.., indahnya masa-masa itu. Tak ada beban. Seandainya ditanya, kapan aku menemukan kebahagiaanku, maka jawabannya ada pada masa kecilku. Tapi, hidup telah diatur oleh-Nya.  Lahir,  tumbuh, dewasa, menikah, punya keturunan, tua dan mati. Bedanya, masing-masing individu manusia memiliki nilai berbeda dalam sejarah kehidupannya dan di hadapan Tuhannya.
“Ncihi romo nggahi inamu, Ray! Nakambera tantuku pala dou ne’emu sakali ma ake,”1 komentar nenek. Memangnya bunda kapan bertemu, Mawar, pikirku, tapi kuakui di telpon mereka sering mengobrol. Mungkin itu, bunda berkesimpulan bahwa Mawar orangnya asyik.
“Nakambera romo anamu re, Nenek. Selain ede natupa rau,,,”2 godaku.
“Na ore ipiku pala dou ne’ena ramai wa’a ra mai teina ita doho pala, kak Ray ke,”3 Mawar menyambungi komentar nenek dan mereka sama-sama tertawa kecil.
“Sawatipu wa’ana aka umana biasa kai nawa’a wauku ta ake anae..., dou ne’ena, pala wati wara sana kai adeku. Ampode nggomi ake raupa dihi kai adeku,”4 nenek sedikit membongkar rahasiaku dan sedikit memuji Mawar.
“Mada doho wati ndendeke, Nenek, dahu adeta ngadi ai dei ncai,”5 kuperingatkan nenek dan Mawar, karena kelihatannya mereka akur dan membahas banyak hal. Barangkali beliau baru kali ini bisa dekat dengan kekasihku. Mawar memang pandai membawa diri. Gampang tertawa, ramah dan lebih jeli membaca suasana hati.
“Santabe mai mada masubi wauta, Nenek.”6 Mawar menyuntiknya setelah mengukur tekanan darahnya dan segera mengemasi obat-obatan dalam tas kecilnya ke dalam tas yang lebih besar.
“Mada doho dodo wautake,,,nanci’ira edaku liroke. Dahu adeta bune-bune dei ncai ta.”7 Aku berpamitan sama nenek dan sesegera mungkin mencium tangannya dan Mawar pun begitu.
Jalanan ini, hari itu, seorang anak kecil dengan menggamit tangan kakeknya melangkah pendek-pendek untuk sampai ke sawah yang hanya berjarak 2 km. Seorang kakek yang lama meninggal dan waktu itu aku masih berumur kurang dari 10 tahun, 9 tahun 7 bulan. Hari ini, seandainya kakek masih hidup, pasti senang melihat, Mawarku. Aku akan sempatkan waktu lebih lama untuk bercerita dan bertanya kenapa beliau menamaiku dengan nama, Ray Romansyah. Kakek hidup di atas namaku yang ke-kota-an. Ray, aku sering mendengar nama ini disebut di acara sinetron atau dalam film. Apapun itu, namaku adalah jejak nyata yang ditinggalkan sang kakek untuk cucunya tercinta. Memacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang dengan ditemani cahaya senja. Hamparan sawah “pajakai” dengan pepadian yang hampir menguning seolah senja yang saga pindah ke sawah-sawah. Luas dipagari gemunung yang mengitarinya. Ada beberapa desa lagi yang harus kami lewati untuk bisa sampai ke rumah. Aku tidak tahu banyak kenapa orang tuaku pindah dari desa kelahiranku dan tinggal di sebuah desa di pedalaman, desa Tolouwi. Konon, desa ini dahulu adalah hamparan sawah yang hanya ditanami ubi. Tolouwi terdiri dari dua kata “tolo” yang berarti sawah dan “uwi” yang berarti ubi. Kalau digabung bisa berarti sawah yang ditanami ubi. Sederhananya kurang lebih seperti itu. Desa paling ujung ke-2 setelah desa tetangga, yaitu desa Tolotangga. Sebuah desa yang bersedia membentangkan lengannya untuk mengawal perjalananku hingga sampai pada umur sekarang. Desa paling maju dari desa-desa lain. Desa paling besar yang dulunya hanya satu sekarang sudah menjadi tiga desa. Kini, motorku sedang menaiki tanjakan “wai kancio” yang memisah Kecamatan Monta luar dan Monta dalam. Monta dalam terdiri dari banyak desa yang berkembang di bagian pedalaman termasuk desaku. Jalan “wai kancio” adalah sebuah gunung utuh yang dibelah untuk membentuk jalan dan pada turunannya dapat ditemukan sebuah jurang yang sangat dalam dan ditumbuhi pohon-pohon besar. Fauna seperti monyet dengan ukuran berbeda dapat dilihat di pinggir jalan, atau bergelantungan di sana-sini dari atas pohon.
“Capek, ya, Mawar?”
“Lumayan capek, sih, tapi bukankah semua itu telah terbayar oleh pemandangan yang tak mampu kubeli  walaupun dengan setumpuk rupiah, dan denganmu hilang rasa capekku. Apakah, Kak Ray tidak merasa capek?”
“Capek, dong. Pundakku terasa ngilu semua.”
“Aku bisa bantu apa, Kak?”
“Kreatif sedikit kenapa...” Belum selesai kuberbicara, dengan sigap, Mawar memukulkan tangannya pelan-pelan di atas pundakku dan tangannya mirip ahli kungfu shaolin, atau kungfu panda.
“Kau tidak perlu melakukan itu, Mawar!”
“Tidak perlu, tapi aku ingin melakukannya, Kak.”
Matahari senja kini telah menyelimuti diri di balik gunung. Burung-burung telah pulang ke sarangnya. Suara jangkrik mulai menandai datangnya malam. Desaku telah diselimuti jubah gulita. Lampu-lampu telah dinyalakan. Adzan mulai terdengar samar-samar ketika kami menuruni motor di depan rumah.
“Mawar, simpan barang-barangmu. Kita sholat dulu.” Waktu kami sampai, orang-orang rumah sedang sholat. Tidak ada acara sambutan seperti di film-film yang pernah kutonton, atau seperti yang kulihat di rumah tetangga.
“Iya, Kak.”
Kami sama-sama mengenakan wudhu dan sholat berjamaah. Ini bukan pengalaman pertama aku mengimani sholat. Semua teman-temanku, baik yang laki-laki dan perempuan pernah kuimani sholatnya. Jadi, aku sudah terbiasa tapi, berdiri di depan wanita ini serupa anak-anak yang belajar pidato dan demam panggung membuatnya menggigil seketika. Bacaanku, dalam pendengaranku terasa sedikit bergetar, gemetar. Keringat bercucuran tapi, lama-lama khusyuk juga. Satu kesimpulan yang bisa kupetik dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. Salah satu tanda kita benar-benar mencintai adalah merasa kikuk dan grogi. Kalau tidak, bisa dipastikan itu palsu, atau lebih parahnya seorang lelaki menggombali wanita tanpa canggung sudah membuktikan dia ingin main-main. Sederhana saja. Lelaki dengan tatapan jerihnya, bisa jadi tanda paling kecil bahwa wanita yang ditatapnya diam-diam adalah yang paling mekar dalam hatinya, barangkali, karena semua bisa dipalsukan. Sebab, tak ada satu pakar pun yang benar-benar mampu mengungkap hal ini. Ia relatif. Daun kering di mata orang lain, di mata pelakunya adalah permata. Aku bisa menduga, tingginya angka perceraian mungkin karena cinta tanpa diawali rasa kikuk dan grogi ini. Hanya tumbal dari “great spiker” atau “great sex”. Bisa jadi korban MBA, yang merupakan akronim Marriage By Accident, atau menikah lantaran kecelakaan. Mengungkapkan perasaan tanpa canggung hanya butuh diakui hebat.  Ketololan yang dilakukan kaum lelaki ini sungguh miris. Pernah aku mengenal sekelompok anak muda yang berjumalah lima orang. Mereka menamai  gangnya jojoba yang bila dipanjangkan berarti jomblo-jomblo bahagia. Kerjaannya memacari semua wanita dari umur yang berbeda, incarannya yang paling cantik dan sebelumnya mereka arisan dulu. Siapa yang duluan keluar namanya dia yang dapat giliran. Akh.., untung aku bukan salah satu dari mereka. Untung saja lelaki romantis yang sedikit berbahaya ini tidak terpengaruh untuk bergabung. Mirisnya lagi, wanita, baru dirayu gayung bersambut. Katanya, ini aku kekasihmu. Kuserahkan semuanya untukmu. Uiiiiih...
“De... wara tamu keni,”8 sapa daeku setelah beliau selesai sholatnya. Kami baru saja selesai sholat dan aku masih mengenakan peci hitamku.
“Iyota, dae. Kalembo ade ta waura karepomu mada,”9 jawab Mawar dan mereka bersalaman. Kulihat Mawar mencium tangannya. Wujud penghormatan yang muda kepada yang lebih tua.
“Be kombi inamu kandere.., sadia weapu dingaha lengamu, Ray,”10 perintah dae langsung kukerjakan. Aku mengambil jar cake setoples. Kuseduh teh jahe untuknya. Aku memang tidak begitu suka nge-teh tapi, aku bisa meracik teh jahe paling nikmat dengan jahe bakar.
“Maaf, ya, hanya ini yang bisa kusuguhkan, Mawarku,” rayuku.
“Doho kalembo ademu ana ndo. Doho nono waupu labo sa’emu. Dae matio wau inamu.”11 dae pamit dan membiarkan kami duduk. Kebetulan si bungsu sedang duduk dengan kami. Dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar.
Bersambung.
 
Note: Terjemahan dialog.
1.       “Benar kata bundamu, Ray! Kekasihmu kali ini asyik dan menyenangkan.
2.        “Selain asyik dan menyenangkan, dia lebih pandai membawa diri.”
3.        “Berarti ada banyak pacarnya yang, Kak Ray bawa ke sini sebelumnya.”
4.        “Sebelum dia bawa ke rumah untuk diperkenalkan dengan orang tuanya, dia pamer dulu di sini, tapi kali ini aku merasa cocok dan senang.”
5.        “Kami tidak bisa lama-lama, Nenek. Takutnya kemalaman dalam perjalanan.”
6.        “Ke sini, Nek! Saya suntik dulu.”
7.        “Kami pamit dulu,,,kelihatannya matahari hampir tenggelam dan takutnya ada apa-apa di jalan.”
8.       “Rupanya ada tamu.”
9.        “Iya, Dae. Maaf kalau saya merepotkan.
10.    “Bundamu lagi ada perlu di luar. Sediain minuman buat temanmu, Ray.”
11.    “Kalian duduk saja dulu, ya. Minum saja dulu. Dae permisi panggilkan bundamu.”